Ancaman Ranjau Di Choke Points


Informasi terbaru Ancaman Ranjau Di Choke Points

All hands,

Bagi negara-negara maju, salah satu ancaman yang diwaspadai pada wilayah choke points adalah ancaman peranjauan. Tidak sulit untuk menemukan kebenaran akan kewaspadaan itu, karena bisa dilacak pada beberapa latihan rutin Angkatan Laut negara-negara maju yang berfokus pada perburuan dan penyapuan ranjau di choke points. Negara-negara itu memang telah memiliki banyak pengalaman tentang ancaman peranjauan di perairan choke points, misalnya di Teluk Persia menjelang Selat Hormuz.

Seperti pernah ditulis sebelumnya, ranjau laut adalah senjata murah dengan daya rusak besar. Tak aneh bila banyak ahli strategi keamanan maritim berpendapat bahwa peperangan ranjau merupakan salah satu pilihan murah bagi aktor non negara untuk menghadapi aktor negara di laut. Oleh karena itu, kini kegiatan operasi perburuan dan penyapuan ranjau di perairan choke points, misalnya di perairan sekitar Eropa, menjadi menu rutin bagi Angkatan Laut negara-negara maju.

Indonesia hendaknya paham dengan isu tersebut. Isu itu sebenarnya juga ditakutkan oleh Negeri Penampung Koruptor, karena apabila terjadi maka kerugian yang harus ditanggung oleh negeri kecil itu berlipat-lipat ganda. Dalam konteks kepentingan nasional Indonesia, isu peperangan ranjau sesungguhnya dapat "dimainkan" oleh Indonesia terhadap beberapa negara di sekitar Indonesia.
Tinggalkan komentar anda tentang Ancaman Ranjau Di Choke Points

Mempertimbangkan Efektivitas Biaya Sistem Senjata


Informasi terbaru Mempertimbangkan Efektivitas Biaya Sistem Senjata

All hands,
Dalam pengadaan sistem senjata, banyak hal yang harus menjadi bahan pertimbangan. Baik dari aspek teknis, operasional , ekonomis hingga politik. Hal itu dapat dipahami karena sistem senjata merupakan perpaduan berbagai aspek tersebut. Karena itu, tidak jarang perencanaan pengadaan sistem senjata memakan waktu cukup lama, minimal dua atau tiga tahun sebelum direalisasikan dalam bentuk kontrak.
Dari aspek ekonomis, negara-negara maju sangat memperhitungkan efektivitas biaya. Maksudnya, mereka menghitung dengan cermat perbandingan antara harga beli sistem senjata dengan biaya selama daur hidupnya. Meminjam istilah yang lebih teknis, life cycle cost dihitung dengan cermat. Pemahaman dan penguasaan mereka terhadap life cycle cost analysis sudah sangat tajam.
Dalam life cycle cost analysis, variabel yang dihitung mencakup biaya investasi awal, biaya operasional sistem senjata, biaya pemeliharaan dan perbaikan, biaya penggantian dan residual value. Ketika menghitung life cycle cost analysis, nilai konstan mata uang yang digunakan dalam pengadaan dan pasca pengadaan (operasional dan pemeliharaan) turut dihitung pula. Bahkan biaya penghapusan pun tak luput untuk dihitung.
Meskipun Indonesia masih berstatus negara berkembang, alangkah baiknya apabila life cycle cost analysis juga diterapkan dalam pengadaan sistem senjata, termasuk sistem senjata Angkatan Laut. Dengan demikian, diharapkan biaya yang tidak sedikit dikeluarkan oleh negara untuk membeli suatu jenis sistem senjata ---misalnya kapal selam--- akan setimpal dengan biaya-biaya lanjutan yang harus dikeluarkan dalam daur hidup sistem senjata itu. Singkatnya, tidak ada jaminan bahwa suatu sistem senjata yang harganya "murah" otomatis biaya yang harus dikeluarkan dalam siklus hidupnya lebih murah daripada sistem senjata yang lebih "mahal".
Tinggalkan komentar anda tentang Mempertimbangkan Efektivitas Biaya Sistem Senjata

Radford-Collins Agreement


Informasi terbaru Radford-Collins Agreement

All hands,
Australia sangat berkepentingan dengan SLOC di Indonesia, sehingga dengan cara apapun harus dipertahankan. Terkait hal tersebut, salah satu langkah yang ditempuh adalah bekerjasama dengan Amerika Serikat. Bentuknya adalah Radford-Collins Agreement yang ditandangani pada Maret 1951 oleh Laksamana Arthur Radford CinC U.S. Pacom dan Laksamana Muda John Collins Kepala Staf Angkatan Laut Australia. Cakupan Radford-Collins Agreement meliputi Samudera India dan Samudera Pasifik, dengan salah satu fokus adalah SLOC di Asia Tenggara (baca: Indonesia).
Hingga sekarang Radford-Collins Agreement masih berlaku, hanya saja memang jarang disebut. Bahkan dalam konteks Indonesia, nampaknya tidak banyak pihak yang paham soal perjanjian itu. Radford-Collins Agreement dalam beberapa tahun terakhir kembali menjadi perhatian di Australia seiring adanya ancaman keamanan maritim di perairan Asia Tenggara, khususnya Asia Tenggara. Keluaran dari perbincangan tentang perjanjian tersebut adalah Australia tidak akan ragu menggunakan klausul dalam Radford-Collins Agreement apabila Indonesia tidak mampu mengamankan SLOC yang berada di wilayahnya.
Pertanyaannya adalah apakah Persetujuan Lombok tidak dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk "menangkis" Radford-Collins Agreement? Secara kasat mata terdapat beberapa peluang dalam Persetujuan Lombok yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia terkait pengamanan SLOC.
Tinggalkan komentar anda tentang Radford-Collins Agreement

Mengebiri Kekuatan Laut Indonesia


Informasi terbaru Mengebiri Kekuatan Laut Indonesia

All hands,
Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa kekuatan utama dunia berupaya mengebiri kekuatan laut Indonesia. Sebagai contoh adalah pembatasan jumlah rudal permukaan ke permukaan dan rudal permukaan ke udara dan torpedo yang boleh dibeli untuk memperkuat kapal perang Negeri Nusantara. Kalaupun rudal itu boleh dibeli, ada sederet persyaratan yang harus disetujui oleh Indonesia terlebih dahulu. Situasi ini sudah terlihat ketika Angkatan Laut Indonesia mengakuisisi kapal perang kelas Sigma beberapa tahun lalu.
Upaya mengebiri kekuatan laut Indonesia tak lepas dari potensi Indonesia yang seharusnya menjadi kekuatan laut terbesar di kawasan Asia Tenggara karena luasan geografisnya. Potensi itu dianggap membahayakan negara-negara di sekitar Indonesia, khususnya negeri penyiksa kaum Aborigin, Negeri Tukang Klaim dan Negeri Penampung Koruptor. Lihat saja betapa mudahnya ketiga negara memperoleh berbagai jenis rudal dari beberapa negara produsen nyari tanpa pembatasan dan syarat yang ketat.
Guna menghadapi situasi demikian, solusi paling realistis adalah membeli rudal dan torpedo dari negara yang tidak menerapkan persyaratan ketat kepada Indonesia. Untuk melaksanakan solusi itu sebenarnya tidak sulit selama keterbatasan anggaran tidak lagi dijadikan pembenaran oleh pengambil kebijakan nasional dalam hal pembangunan kekuatan Angkatan Laut. Berpalingnya Indonesia ke negara-negara lain akan merugikan negara-negara yang selama ini berupaya mengebiri pembangunan kekuatan laut Indonesia, sebab pasar mereka berkurang karena kebijakan mereka sendiri.
Selain rudal dan torpedo, isu pembatasan peluru meriam pun tidak boleh dilewatkan. Untuk peluru meriam ini memang agak rumit, karena meriamnya adalah merek tertentu sehingga munisinya pun harus yang sama dengan itu. Tidak jarang untuk mendapatkan jumlah munisi yang cukup sesuai dengan persyaratan logistik, pengadaannya dilakukan lewat jalur belakang.
Selain solusi itu. perlu pendekatan Indonesia kepada negara-negara yang selama ini berupaya mengebiri pembangunan kekuatan laut Indonesia. Indonesia harus mampu membujuk mereka untuk mengubah kebijakannya. Guna membujuk, kartu-kartu seperti Cina bisa dimainkan sebab negara-negara itu memerlukan Indonesia dalam membendung hegemoni Cina. Apapun kartu yang tersedia di atas meja, semua harus dimainkan demi kepentingan nasional Indonesia khusus pembangunan kekuatan Angkatan Laut.
Tinggalkan komentar anda tentang Mengebiri Kekuatan Laut Indonesia

Krisis Libya Dan Respon Angkatan Laut Amerika Serikat


Informasi terbaru Krisis Libya Dan Respon Angkatan Laut Amerika Serikat

All hands,
Krisis Libya yang merupakan rangkaian revolusi di Tanah Arab menimbulkan keprihatinan dan perhatian dari banyak negara. Sebab kepentingan asing di Libya ada berbagai macam, mulai dari mengamankan warga negara mereka di negeri itu, pasokan minyak dan gas Libya hingga pada bahan senjata kimia yang dipunyai oleh negeri kelahiran Omar Mokhtar tersebut. Amerika Serikat dan NATO adalah pihak yang berkepentingan besar terhadap krisis di Libya, sehingga mereka bersiap untuk melaksanakan intervensi.
Sudah merupakan hal yang lumrah bila Angkatan Laut menjadi kekuatan utama untuk merespon krisis dan sekali lagi hal itu dipraktekkan pula di Libya. Amerika Serikat merasa perlu untuk menyebarkan satu Gugus Serang Amfibi dan satu Gugus Ekspedisi Serang Kapal Induk ke perairan Laut Tengah. Kondisi demikian menunjukkan bahwa apa yang ditempuh oleh Amerika Serikat bukan lagi diplomasi Angkatan Laut, tetapi sudah mencapai tingkat gunboat diplomacy. Dikategorikan gunboat diplomacy sebab dalam dua gugus tugas yang disebarkan itu telah mengandung unsur suasi aktif.
Kedua gugus tugas tersebut sangat mungkin pula akan menggelar operasi HADR dalam bentuk Non-Combatant Evacuation Operation (NEO). Bahkan lebih jauh, eskalasi konflik di Libya akan mendorong pula penerapan No Fly Zone di Libya sebagaimana dulu diterapkan di Irak. Penegakan No Fly Zone akan lebih efektif bila dilaksanakan dari kapal induk daripada pangkalan di darat, sebab Washington tak memerlukan lagi beragam prosedur diplomatik di negara tuan rumah pangkalan udara Amerika Serikat. Sekaligus memperkecil peluang meningkatnya kebencian terhadap Amerika Serikat di Tanah Arab.
Krisis Libya sekali lagi membuktikan betapa karakter kekuatan laut yang unik menjadikan Angkatan Laut sebagai perespon krisis. Itulah keunggulan Angkatan Laut yang seharusnya juga dieksploitasi seoptimal mungkin di Indonesia sebagai negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan.
Tinggalkan komentar anda tentang Krisis Libya Dan Respon Angkatan Laut Amerika Serikat

Mempertimbangkan Kapal Munisi


Informasi terbaru Mempertimbangkan Kapal Munisi

All hands,
Dalam jajaran kapal bantu Angkatan Laut, salah satu sub jenisnya adalah kapal munisi. Sesuai dengan namanya, kapal munisi berfungsi sebagai arsenal berjalan bagi Gugus Tugas kapal perang. Berbagai jenis munisi tersedia di kapal tersebut, seperti munisi meriam berbagai kaliber, peluru suar hingga rudal dan torpedo. Dengan adanya kapal munisi, maka bekal ulang bagi kapal perang jenis kombatan akan lebih mudah dan hemat waktu, sebab RAS dapat dilaksanakan di tengah laut sambil berlayar.
Di Indonesia, di masa lalu terdapat kapal munisi dengan fungsi terbatas dalam susunan tempur Angkatan Laut. Misalnya adalah RI Ratulangi yang merupakan kapal tender kapal selam, di mana kapal selam kelas Whiskey didukung operasionalnya oleh kapal perang itu. Sesuai dengan fungsinya, RI Ratulangi antara lain dapat melaksanakan bekal ulang torpedo bagi kapal selam kelas Whiskey, di samping bisa pula mendukung ketersediaan suku cadang yang diperlukan oleh kapal selam buatan Uni Soviet ketika sedang beroperasi. Karena fungsinya tersebut, RI Ratulangi merupakan satu dari sedikit kapal permukaan yang tergabung dalam Komando Djenis Kapal Selam alias Kodjenkasel yang sekarang dikenal sebagai Satuan Kapal Selam atau Satsel.
Saat ini boleh dikatakan tak ada kapal bantu di jajaran Angkatan Laut Indonesia yang mempunyai fungsi khusus yaitu sebagai kapal munisi. Memperhatikan tantangan operasional di laut ke depan, perlu dipertimbangkan kehadiran kembali kapal munisi dalam susunan tempur armada negeri ini. Kapal munisi itu lebih bersifat umum daripada RI Ratulangi di masa lalu, artinya muatan munisinya harus berbagai jenis sistem senjata dan tak hanya untuk satu sistem senjata tertentu. Dengan adanya kapal munisi, maka bekal ulang munisi bagi kapal perang tidak harus menunggu kembali ke pangkalan yang jelas tidak hemat waktu dan jarak.
Bisa dibayangkan apabila rudal Exocet yang terdiri dari empat tabung dari suatu kapal perang habis ditembakkan semua, tentu tidak efisien apabila kapal itu harus kembali ke garis belakang dahulu untuk mengisi ulang munisinya. Dengan kehadiran kapal munisi, bekal ulang dapat dilakukan di lapangan alias di tempat kapal perang permukaan bertugas. Begitu pula dengan kebutuhan munisi bagi berbagai jenis meriam, termasuk di dalamnya meriam serbaguna 76 mm.
Tinggalkan komentar anda tentang Mempertimbangkan Kapal Munisi

Intelijen Dan Pengambilan Keputusan


Informasi terbaru Intelijen Dan Pengambilan Keputusan

All hands,
Dalam dunia pertahanan dan militer, pengambilan keputusan pada tingkat kebijakan, strategis dan taktis harus senantiasa didukung oleh masukan dari komunitas intelijen. Bila tidak, dipastikan keputusan yang diambil "tidak sempurna" dan sangat mungkin akan "berantakan" pada tingkat operasional di lapangan. Namun demikian, sangat disayangkan tidak jarang pada tingkat kebijakan pertahanan pengambilan keputusan belum ditunjang oleh masukan dari komunitas intelijen secara optimal.
Sebagai contoh, seberapa besar kontribusi komunitas intelijen dalam penyusunan kebijakan-kebijakan strategis yang terkait dengan pertahanan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa Departemen Pertahanan tidak mempunyai satuan kerja intelijen strategis yang berfungsi memberikan asupan dalam proses pengambilan keputusan. Sebaliknya, masukan intelijen masih bertumpu pada Bais yang merupakan lembaga intelijen Angkatan Bersenjata negeri ini. Tentu saja "lahan" Bais berbeda dengan domain bisnis Departemen Pertahanan, sebab user Bais adalah Panglima TNI.
Pada sisi lain, tidak dapat dipungkiri pula terkadang masukan dari komunitas intelijen tidak selaras dengan kebutuhan pengambil kebijakan. Hal seperti ini sudah seringkali terjadi, namun sayangnya belum ada upaya untuk memperbaiki kesenjangan yang terjadi. Keluaran dari semua itu adalah kebijakan yang "tidak membumi".
Inilah satu di antara beberapa tantangan yang dihadapi dalam proses pengambilan keputusan. Pertanyaannya, apakah kondisi ini akan terus dibiarkan? Kalau hendak dibenahi, perlu ada langkah perbaikan. Pada tingkat pengambil keputusan, hendaknya lebih mengoptimalkan peran intelijen dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Sedangkan pada komunitas intelijen sendiri, perlu mengubah paradigma menjadi outward looking sehingga tidak terkontaminasi dengan penitikberatan pada tugas pengamanan yang sesungguhnya bersifat internal, sebab bagi sebagian pihak ada perbedaan signifikan antara komunitas intelijen dengan komunitas pengamanan.
Tinggalkan komentar anda tentang Intelijen Dan Pengambilan Keputusan